INIGRESIK.COM – KH Muchtar Djamil dikenal sebagai tokoh agama. Beliau juga dikenal sebagai budayawan sejarah Islam di Kota Giri Gresik. Diantara kontribusi beliau adalah dapat terselenggara napak tilas Sunan Giri pada HUT Gresik beberapa tahun lalu.
Tumpukan buku sejarah Islam tertata rapi di kursi kayu ruang tamu kediaman KH. Muchtar Djamil di Jalan H. Samanhudi, Kelurahan Bedilan, Kecamatan Gresik. Sebagian besar buku tersebut berisi tentang sejarah Islam. Buku-buku itu merupakan terbitan berbagai penerbit pada 1960–1984. ’’Ini masih sebagian,’’ ujar Beliau kala ditemui di rumahnya. Saat itu beliau duduk bersila dengan didampingi istrinya, Sri Astutik, serta Muhammad Tajuddin, salah seorang santrinya.
Ketua Pusat Informasi Sejarah Islam dan Pusat Dakwah (Puisi Pudak) Gresik kala itu tersebut begitu bersemangat menceritakan perkembangan agama dan sejarah Islam. Juga, keprihatinannya terhadap minat anak muda dalam belajar sejarah agama Islam yang minim. Karena itu, beliau berinisiatif mengadakan acara napak tilas pada HUT Ke-530 Gresik. ’’Pawai budaya napak tilas Kanjeng Sunan Giri itu bagian dari mengingatkan sejarah Islam. Terutama anak-anak muda di Gresik,’’ ujar Kiyai Muchtar.
Kecintaannya terhadap budaya Gresik dimulai pada 1991. Pensiunan dari kantor Kementerian Agama (Kemenag) Gresik tersebut mendirikan Puisi Pudak. Penggalian tentang sejarah para aulia tersebut bukan hanya dari buku-buku sejarah. Tetapi juga observasi di lapangan.
Setiap Jumat malam Kiyai Muchtar mengisi pengajian. Materinya diselipi sejarah Islam. Selain itu, dia berdiskusi melalui grup WhatApps sampai dini hari. ’’Sebagian hasil diskusi telah dicetak dan disebarkan kepada para peziarah di Makam Nyai Ageng Pinatih Gresik dan para aulia lainnya,’’ kata Tajuddin, anggota Puisi Pudak Gresik.
Kiai Tar, sapaan akrabnya, pun mengangguk. Ketika Kiai Tar berbicara tentang sejarah Kota Wali, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Belum selesai menjawab salam, muncul pemuda yang memakai helm. Dia adalah Fakhruddin Fakhri, anak semata wayang Kiai Tar. ’’Nah, D3 datang,’’ ucap Tajuddin yang membuat Kiai Tar tersenyum.
Rumah tembok putih dengan pintu kelir hijau itu hanya dihuni tiga orang. Kiar Tar, istri, dan anak semata wayangnya. Sebagian orang menyebut penghuni rumah tersebut dengan istilah D3. Dai, doktor, dan dokter. Dai adalah personalisasi KH Muchtar Djamil. Doktor merupakan personalisasi Sri Astutik, pembantu dekan Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, dan dokter adalah gelar Fakhruddin Fakhri. Kini dia menempuh program spesialis penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya.
Mereka memiliki kesibukan masing-masing setiap harinya. Sri Astutik setiap pagi mengajar. Fakhri menyelesaikan pendidikannya. Adapun Kiai Tar lebih banyak berdakwah. ’’Kalau lagi tidak ada pengajian, ya di rumah sambil membaca buku,’’ tuturnya. ’’Saya juga sedang menyusun bahasa Gresikan,’’ lanjutnya. Sebab, bahasa khas masyarakat Kota Pudak itu terancam punah. ’’Lahirnya bahasa Gresikan akan memperkuat budaya Gresik,’’ paparnya.
Meski usianya menginjak kepala delapan, kondisi kesehatan Kiai Tar masih sehat. Pada 9 Maret lalu, ketika mengikuti kirab budaya, dia terlihat bugar saat naik-turun tangga Masjid Sunan Giri. Padahal, masjid tersebut berada di ketinggian 120 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Keseriusannya melestarikan dan menyebarkan sejarah Islam membuat Kiai Tar mendapat gelar Kanjeng Raden Aryo Tumenggung KH Dwijo Muchtar Djamil Adipuro dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Beliau wafat pada pukul 13.58 WIB, hari Senin, 14 Maret 2022 di Rumah Sakit Semen Gresik
Wallohu a’lam.
Semoga bermanfaat.
Sumber : jawapos.com