Oleh : Endah Sri Redjeki
Ketika para peneliti sibuk meneliti tanaman bernilai ekonomis tinggi (padi, terigu, kedelai, dll) saya lebih suka menekuni tanaman kacang bogor (bambara groundnut). Kecintaan pada tanaman ini bermula di tahun 1988, ketika itu sebagai reporter majalah Tumbuh di Jakarta saya hunting berita tentang crop yang dipandang sebelah mata (the underutilized crops) hingga ke Sukabumi, Jawa Barat.
Dari hasil investigasi yang akhirnya menumbuhkan kecintaan tersendiri pada tanaman pangan yang belum banyak dilirik orang ini, ternyata benar-benar menjanjikan jika dapat ditangani dengan tepat.Gresik termasuk sentra ke dua tanaman ‘bambara groundnut’ (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) di Indonesia.
Tanaman ini berasal dari Afrika Baratdaya dan popular dikenal sebagai kacang bogor di Jawa Barat atau kacang kapri di Gresik, Jawa Timur. Tanaman perdu ini berdaun trifoliate dan bunga warna kuning serta rata-rata satu polong berisi satu biji.
Di daerah asalnya, tanaman ini memiliki aneka warna dan corak pada kulit bijinya, namun di Indonesia umumnya hanya warna gelap yang ditanam petani. Keseluruhan bagian tanaman dapat dimanfaatkan: brangkasannya dapat digunakan untuk pupuk hijau dengan cara dibenamkan ke dalam tanah dan polongnya mengandung nutrisi yang cukup tinggi, yaitu: karbohidrat 60%, protein 25% dan rendah lemak,hanya 6% tergantung jenis galurnya. Polongnya dapat dikonsumsi sebagai makanan ringan (snack) dalam bentuk kacang rebus, kacang goreng, tempe, peyek, agar-agar, kolak , tepung roti hingga ‘vegetable milk’ (susu nabati). Mengingat kandungan nutrisi nya yang kompetitif, tak salah jika tanaman ini disebut-sebut sebagai tananam pangan masa depan.
Beberapa tahun yang lalu,banyak petani Gresik yang menanam kacang kapri, karena harganya cukup tinggi dibandingkan kacang tanah. Namun akhir-akhir ini mereka mulai mengeluhkan umur tanaman yang panjang, hampir lima bulan dan langkanya benih pada saat musim tanam. Sebagai peneliti tanaman kacang bogor sejak 2003 (dibiayai Dikti) dan telah menulis tentang tanaman ini sejak tahun 1988 (dimuat di Majalah Tumbuh, Jakarta) penulis yang juga pemulia tanaman bermaksud merakit varietas yang berumur pendek (3 bulan) dan mempunyai hasil tinggi (+/- 4 ton/ha) dengan menggabungkan dua metode pemuliaan, yaitu metoda konvensional dan metoda genetic molekular.
Untuk mendapatkan varietas unggul tersebut, telah dilakukan persilangan antara galur-galur Afrika dan Indonesia di ‘Plant Growth Room’ di School of Biosciences, The University of Nottingham, United Kingdom yang dapat diatur intensitas cahaya, suhu dan panjang hari hingga menyerupai lingkungan aslinya. Dari 400 persilangan diperoleh 48 ‘presumed hybrids’ yang akan diuji keasliannya (genuine) dengan metode genetic molecular (microsatellite) di Lab molecular genetic di Univ of Nottingham, UK. Kerja keras selama setahun di Plant Growth Room kini sedang ditanam di Indonesia untuk diuji karakter yang dikehendaki (umur 3 bulan dengan hasil mendekati 4 ton/ha) .
Diharapkan dalam kurun waktu 3 tahun varietas unggul yang diharapkan sudah dapat dilepas di tingkat petani. Varietas unggul yang akan dilepas diharapkan tidak saja mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, namun juga dapat diekspor dalam bentuk makanan olahan. Tidak salah jika tanaman kacang kapri disebut sebagai tanaman pangan masa depan.
*) Penulis adalah kandidat doctor School of Biosciences, The University of Nottingham, United Kingdom. Dosen Tetap Fakultas Pertanian UMGsumber : umg ac id