Dibandingkan semester pertama 2018, data perceraian tersebut meningkat cukup signifikan. Dari data Januari–Juni tahun lalu, perceraian mencapai 843 kasus. Kalau dirata-rata, terdapat 140 janda/duda baru per bulan.
Penyebab perceraian terbanyak kedua adalah gegeran atau perselisihan terus-menerus. Pada semester pertama 2019, ada 237 kasus.
Emi Rumhatuti, panitera muda hukum Pengadilan Agama Kabupaten Gresik, membenarkan adanya kenaikan kasus perceraian pada semester pertama tahun ini dibandingkan 2018. Begitu juga dengan penyebabnya. Nah, untuk rata-rata usianya, pihaknya tidak memiliki data pasti orang per orang.
Menurut Emi, banyak faktor yang membuat pernikahan muda tidak bertahan. Salah satunya keputusan menikah yang terlalu cepat. ’’Ada beberapa faktornya. Bisa karena terpaksa atau mengandung (hamil) duluan,’’ ujarnya.
Bahkan, sambung Emi, jika si perempuan sudah hamil atau mengandung dulu, pernikahannya hanya untuk status. Setelah menikah, mereka tidak tidur serumah. Dari data pada Januari–Juni, setidaknya ada empat kasus kawin paksa karena mengandung lebih dulu. Selain itu, terdapat 58 kasus yang meninggalkan salah satu pihak.
Melihat fakta tersebut, Emi pun memberikan saran.
Emi menambahkan, pernikahan dini memang kerap menimbulkan persoalan ketidakmampuan dalam urusan menafkahi keluarga. Di pengadilan agama, kondisi demikian termasuk kategori kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). ’’Belum punya penghasilan tetap tapi sudah buru-buru menikah. Akhirnya, usia pernikahan hanya seumur jagung,’’ jelasnya.
Adakah kasus perceraian karena suami punya lebih dari satu perempuan atau poligami? Emi menyebut belum ada. ’’Sampai Juni ini tidak ada kasus perceraian karena poligami,’’ paparnya.