Industri Kecil Pudak |
Bagaimana cara mengembangkan potensi lokal di Gresik, berikut beberapa kutipan dari Dr. Ir. Sutrisno, MSME.
Dosen Teknik Industri dan Teknik Mesin FT-UGM artikel tentang “Mengembangkan Industri dengan Konsep Budaya” yang cukup menarik
Dosen Teknik Industri dan Teknik Mesin FT-UGM artikel tentang “Mengembangkan Industri dengan Konsep Budaya” yang cukup menarik
… Pemasaran lokal menjadi antar propinsi, antar pulau dan terus meningkat hingga berpotensi ekspor. Jawabnya tentu saja tidak sederhana, mengingat budaya dan tradisi masyarakat Jawa yang sangat bercorak timur, dengan interaksi kehidupan sosial yang kuat, gemar berkumpul dan enggan untuk menonjolkan diri. Sekilas nampak bahwa kebiasaan masyarakat kita ini kurang sesuai dengan teori Barat yang selalu menekankan pada “fighting spirit” tinggi, dan mengobarkan “jiwa kompetisi”.
Dengan budaya seperti ini, sering kita dibuat risau bahwa industri kecil kita tersebut akan sulit dikembangkan.
Sebenarnya hal tersebut tidak perlu terlalu dikawatirkan. Perkembangan industri Jepang membuktikan bahwa keberhasilan industri negeri tersebut mempecundangi Amerika dan memimpin industri dunia bukanlah disebabkan oleh kesuksesan Jepang menyaingi kecanggihan teknologi Barat, melainkan akibat keberhasilannya mempersenjatai diri dengan budaya Timur.
Sebenarnya hal tersebut tidak perlu terlalu dikawatirkan. Perkembangan industri Jepang membuktikan bahwa keberhasilan industri negeri tersebut mempecundangi Amerika dan memimpin industri dunia bukanlah disebabkan oleh kesuksesan Jepang menyaingi kecanggihan teknologi Barat, melainkan akibat keberhasilannya mempersenjatai diri dengan budaya Timur.
Kalau Jepang berhasil mengembangkan industri berat dengan keajaiban budaya Timurnya, tentu saja kita dapat mengharap kesuksesan yang lebih besar bila dalam meningkatkan potensi industri kecil pedesaan dan perkampungan kita melandasi pengembangannya dengan budaya Timur kita.
Sangat perlu dicatat bahwa pada pertengahan abad XIX, menurut seorang antropolog Amerika Clifford Geertz, kondisi Jepang sama dengan kondisi Jawa. Keduanya berpenduduk banyak, senang berpadat karya dalam bertani dengan hasil padi per-hektar yang hampir sama pula. Bedanya di Jawa surplus hasil pertanian yang didapat sekian lama tersedot oleh penjajah Belanda, sedang di Jepang surplus hasilnya digunakan dan terakumulasi sebagai modal kekayaan dalam bentuk kemajuan teknologi (Kunio, 1992). Berikut keajaiban budaya dalam pengembangan industri Jepang.
Sangat perlu dicatat bahwa pada pertengahan abad XIX, menurut seorang antropolog Amerika Clifford Geertz, kondisi Jepang sama dengan kondisi Jawa. Keduanya berpenduduk banyak, senang berpadat karya dalam bertani dengan hasil padi per-hektar yang hampir sama pula. Bedanya di Jawa surplus hasil pertanian yang didapat sekian lama tersedot oleh penjajah Belanda, sedang di Jepang surplus hasilnya digunakan dan terakumulasi sebagai modal kekayaan dalam bentuk kemajuan teknologi (Kunio, 1992). Berikut keajaiban budaya dalam pengembangan industri Jepang.
Keajaiban Strategi Jepang
Sesudah perang dunia II usai, saat akhir masa pendudukan tentara Jepang, tahun 1950-an, produksi pertanian, produktivitas tenaga kerja dan perkembangan ekonomi Jepang sudah pulih kembali. Akan tetapi sektor perdagangan sangat sulit untuk pulih. Ekspor tekstil, yang semula merupakan andalan, tidak bisa diharapkan lagi. Dengan modal industri yang ada pemerintah memilih mensubsidi industri berat -bekas keperluan militer- untuk dikembangkan, salah satunya industri mobil yang saat itu masih dalam skala kecil dan hanya untuk melayani kebutuhan lokal saja. Pada waktu itu muncul persoalan mendasar, yaitu bagaimana mendapatkan teknologi asing tanpa kehilangan kontrol nasional.
Jepang menyadari bahwa memajukan teknologi berarti menciptakan ketergantungan terhadap asing. Jepang sangat hati-hati dalam pertimbangan ini. Oleh karena itu, kebijakan mereka kemudian adalah lebih mengandalkan kemampuan industri lokal yang ada. Tahun 1952, Jepang memilih mengembangkan industri mobil yang memiliki industri pendukung kuat.Dalam 8 tahun, kemampuan “menjiplak” telah dikuasai sehingga produksi telah 100% menggunakan komponen lokal. Produk-produk baru segera muncul “tanpa campur tangan perusahaan induk”.
Kemajuan industri Jepang tidak lepas dari jasa “Japan Productivity Center”, lembaga spionase industri Jepang di Washington yang bertugas melayani profesor dan pengusaha Jepang dalam mempelajari rahasia sukses Amerika dan kemudian menjiplaknya. Salah satu rahasia kemajuan Amerika adalah penerapan “sistem manajemen rasional-ilmiah” dari Taylor yang telah membawa Amerika ke jenjang sukses memimpin industri dunia.
Pada saat itulah Jepang melihat titik-lemah industri Amerika yang belum disadari dan digarap oleh Amerika, yang menurut kacamata Timur bersumber pada “kekakuan birokrasi rasional ilmiah” itu sendiri. Pada perusahaan Amerika, begitu sistem sudah berjalan, tidak pernah diperbaiki lagi. Peluang inilah yang menumbuhkan ide keunggulan Jepang. Konsep modern Amerika itu dijiplak Jepang dengan cermat, tetapi penerapannya bertahap, sangat disesuaikan dengan kondisi pekerja dan perusahaan Jepang yang ada. Mereka tidak gegabah untuk semena-mena melakukan perombakan, terutama terhadap budaya dan tradisi.
Malahan, industri Jepang menyadari nilai positif dari kebiasaan interaksi sosial ketimuran yang berupa “jagongan”, gemar berkelompok dan keengganan menonjolkan diri. Tradisi keseharian ini, ternyata sangat sesuai untuk mengatasi kelemahan kekakuan birokrasi rasional-ilmiah Barat itu.
Pada saat itulah Jepang melihat titik-lemah industri Amerika yang belum disadari dan digarap oleh Amerika, yang menurut kacamata Timur bersumber pada “kekakuan birokrasi rasional ilmiah” itu sendiri. Pada perusahaan Amerika, begitu sistem sudah berjalan, tidak pernah diperbaiki lagi. Peluang inilah yang menumbuhkan ide keunggulan Jepang. Konsep modern Amerika itu dijiplak Jepang dengan cermat, tetapi penerapannya bertahap, sangat disesuaikan dengan kondisi pekerja dan perusahaan Jepang yang ada. Mereka tidak gegabah untuk semena-mena melakukan perombakan, terutama terhadap budaya dan tradisi.
Malahan, industri Jepang menyadari nilai positif dari kebiasaan interaksi sosial ketimuran yang berupa “jagongan”, gemar berkelompok dan keengganan menonjolkan diri. Tradisi keseharian ini, ternyata sangat sesuai untuk mengatasi kelemahan kekakuan birokrasi rasional-ilmiah Barat itu.
Budaya “rembugan” bersama ini kemudian digunakan secara rutin dan terjadwal untuk mencari “usaha-usaha kearah penyempurnaan yang berkesinambungan dengan melibatkan semua orang”.
Usaha Jepang menyaingi industri Barat dengan menggunakan jurus mereka sendiri, yaitu menejemen Barat yang telah dipoles dengan budaya dan nilai-nilai tradisi timur, pun dimulai. Dalam praktek di industri, usaha tersebut meski teraplikasi dengan prinsip yang sama, tetapi muncul dengan nama berbeda seperti Kayzen, Kamban, Just in time process, Total Quality Control dan sebagainya. Kesemuanya secara prinsip lebih “nguwongake” karyawan, tetapi dengan “bench-marking” yang makin meningkat ketat terhadap kinerja setiap elemen sistem.
Usaha Jepang menyaingi industri Barat dengan menggunakan jurus mereka sendiri, yaitu menejemen Barat yang telah dipoles dengan budaya dan nilai-nilai tradisi timur, pun dimulai. Dalam praktek di industri, usaha tersebut meski teraplikasi dengan prinsip yang sama, tetapi muncul dengan nama berbeda seperti Kayzen, Kamban, Just in time process, Total Quality Control dan sebagainya. Kesemuanya secara prinsip lebih “nguwongake” karyawan, tetapi dengan “bench-marking” yang makin meningkat ketat terhadap kinerja setiap elemen sistem.
Usaha-usaha penyempurnaan dipikirkan dan dilakukan secara berkelompok. Semua ide akan dipertimbangkan oleh perusahaan, asal bisa membuat proses atau produk menjadi lebih murah, lebih baik, lebih cepat, lebih mudah, lebih presisi, lebih praktis, lebih sederhana, lebih kompak, dan sebagainya. Dari konsep ini, muncullah berbagai keunggulan produk hasil pemikiran kelompok. Produk Barat gonjang ganjing digoncang produk Jepang yang dikenal makin lama makin baik dan makin murah. Di awal tahun 1970-an, masyarakat Indonesia dibuat terpana oleh perawatan dan “tune-up” Honda 69 yang jauh lebih mudah dibanding dengan sepeda motor BSA, DKW Hummel, Sparta di waktu itu. Tahun-tahun berikutnya, kita dikejutkan oleh pemakaian bahan plastik pada sepeda motor, dan selanjutnya makin banyak plastik dan plat tipis press yang digunakan. Selama lebih dari 20 tahun, 15 perusahaan hard-disk Jepang berkongsi mengumpulkan dana penelitian bagi 50 professor dari berbagai universitas untuk bersaing menghadapi produk Amerika.
Dalam 10 tahun, volume ekspor Jepang telah kembali tinggi dalam bentuk mobil, serat sintetis dan elektronik, dan 13 tahun berikutnya, meningkat menjadi tujuh kali lipat. Tahun 1972, Jepang telah menjadi produsen serat sintetis, karet, besi dan mobil terbesar di dunia. Jepang tidak menciptakan teknologi tandingan dalam menghadapi teknologi barat. Sukses Jepang lebih tergantung pada keberhasilannya mempersenjatai diri dengan budaya Timur untuk meningkatkan daya penetrasinya ke pasar dunia. Menyadari hal ini, Jepang merasa perlu memelihara nilai-nilai dan lembaga-lembaga tradisional tertentu.
Beberapa hal dapat kita petik hikmahnya.
Beberapa hal dapat kita petik hikmahnya.
Jika kita berusaha menyaingi industri Barat dengan menggunakan konsep pemikiran lawan yang mereka jauh lebih menguasai, kita pasti akan selalu kalah. Budaya timur yang bernilai positif sangat berpeluang untuk memperbaiki kinerja kita. Lebih dari itu budaya positif tersebut memiliki peluang besar untuk diterapkan di daerah-daerah yang belum bersifat metropolis. Hal ini sangat mendesak untuk dipertimbangkan.
Diambil dari tulisan Dr. Ir. Sutrisno, MSME.
Dosen Teknik Industri dan Teknik Mesin FT-UGM
Dosen Teknik Industri dan Teknik Mesin FT-UGM
disesuaikan seperlunya
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});