INIGRESIK.COM – Gresik, tepatnya di Kampung Kemasan memang serasa lorong waktu yang membawa pengunjung ke era puluhan tahun silam. Bangunan-bangunan kuno berjejer di kiri-kanan gang perkampungan. Gaya arsitekturnya unik. Lain daripada
yang lain. Rasanya, bangunan itu seolah diabadikan oleh waktu.
Setidaknya ada empat coak yang melekat pada bangunan-bangunan tersebut. Yakni, Jawa, Arab, Tiongkok, dan Belanda. Bata berwarna merah marun mendominasi pagar dan tembok di bagian depan. ’’Ini menggambarkan akulturasi (percampuran) budaya yang terjadi saat itu,” kata Oemar Zaenuddin Seperti dikutip dari harian cetak Jawa Pos, Minggu (31/8).
Sebagai ’’penjaga” Kampung Kemasan, Pak Nud –sapaan karib Oemar Zaenuddin– sangat familier di lingkungan itu. Maklum, lelaki 74 tahun tersebut termasuk bagian dari keluarga besar Haji Djaenuddin. Mulai 1894, keluarga Haji Djaenuddin menjadi konglomerat di Gresik karena bisnisnya dalam pabrik pengolahan kulit. Pabrik itu terletak di Jalan
Stasiun (kini Jalan KH Kholil).
BACA JUGA
- Satlantas Polres Gresik Gelar Aksi Berbagi Kepada Masyarakat
- Minyakita langka di Gresik, Pedagang Kesulitan Mendapatkan Pasokan
- Pemkot Surabaya Permudah Pengurusan Adminduk Bayi Baru Lahir dalam 1×24 Jam
- Polrestabes Surabaya Ungkap 236 Kasus Narkoba Senilai Rp10,9 Miliar
- Petani di Tuban Serang Mantri Hutan akibat Sengketa Lahan
’’Saya adalah generasi ketiga. Jadi, saya merasa bertanggung jawab untuk memeliharanya,” ujar pria berkacamata tersebut. Pak Nud mengatakan, Haji Djaenuddin kali pertama membangun rumah dua lantai di kampung itu sekitar 1890. Seiring kejayaan pabriknya, Haji Djaenuddin terus membangun.
Di Kampung Kemasan, ada enam rumah yang dibangun. Semuanya memiliki motif arsitektur yang serupa. Yaitu,
kombinasi Arab, Tiongkok, Jawa, dan Belanda. Namun, di luar Kampung Kemasan, ada sekitar 16 unit rumah yang
tersebar di kawasan Gresik kota tua. ’’Banyak yang sudah beralih tangan. Sebab, banyak yang dijual,” tuturnya. Corak Belanda terlihat pada pilar-pilar jendelanya yang lebar dan panjang.
Di atas jendela, selalu ada hiasan bermotif bunga yang melengkung. Sedangkan lantai keramiknya dibuat dengan warna mencolok khas Tiongkok. Kesan Arab terlihat pada dinding yang dibuat melengkung seperti pada masjid. Ciri lain, setiap rumah juga selalu memiliki lorong di bagian samping. Lorong tersebut menjadi penyambung antara rumah satu dan rumah
lain. Itu dimaksudkan agar tali persaudaraan antarkeluarga sedarah tetap terjalin kuat. ’’Saya merawat rumah seperti momong cucu.
Memang harus telaten,” kelakar kakek 12 cucu tersebut lalu terkekeh. Mengapa disebut Kampung Kemasan? Oemar mengisahkan bahwa kampung itu kali pertama dihuni seorang perajin emas asal Tiongkok. Dia bernama Bak
Lie Ong. Sejak 1850, Bak Lie Ong membangun rumah di kawasan itu.
Namun, karena termakan usia, kini bangunan tersebut rapuh dan ditumbuhi ilalang di atapnya. ’’Nah, itulah sebabnya kampung ini disebut Kampung Kemasan,” tuturnya. Oemar Zainuddin memang sosok yang bertanggung jawab dengan
peninggalan leluhurnya. Selain menjadi ’’penjaga” keaslian Kampung Kemasan, kakek 12 cucu itu masih setiap menyimpan peninggalan lain.
Yaitu, dokumen lawas berupa surat dagang milik Haji Djaenuddin.Jumlahnya sampai 500 lembar. Hingga kini, lembaran surat itu masih tersimpan rapi dalam amplop-amplop lengkap dengan prangkonya. Dokumen tersebut asli tulisan tangan Djaenuddin yang ditujukan kepada rekan-rekan bisnis di berbagai Pulau Jawa.
Keberadaan surat itu membuat seorang kolektor asing kepincut. Pada 2011 Pak Nud ditawari seorang kolektor asal Prancis. Harganya pun sangat fantastis, yakni Rp 1,5 miliar. Namun, lelaki berkacamata itu mengaku tidak tergiur untuk menjualnya. Selain Pak Nud, ada nama lain, yaitu Syamsuddin Noer. Syamsuddin adalah keturunan ketiga dari Haji Djaelan, kakak kandung Haji Djaenuddin.
Peninggalan Haji Djaelan yang mengundang decak kagum adalah rumah bernama Gajah Mungkur. Rumah itu berjarak sekitar 400 meter dari Kampung Kemasan. ’’Dulu kakek (Haji Djaelan, Red) juga pengusaha. Dia pernah tinggal lama di Solo,” tutur Syamsuddin yang memiliki 14 cucu tersebut.
Arsitektur Gajah Mungkur dibuat sendiri oleh Haji Djaelan. Ide bangunannya muncul karena yang bersangkutan memiliki pergaulan luas di berbagai kota.
Konon, pada 1926, Pakubuwono X, raja Keraton Solo, datang ke Gresik. Raja Solo ke-10 itu pun terkagum-kagum. Dia meminta dibuatkan satu bangunan yang sama dengan Gajah Mungkur. Hingga kini, perwujudan bangunan yang sama bisa ditemukan di Jalan Slamet Riyadi, Kota Solo.’’Mereka memang sahabat karib. Sampai-sampai kakek saya diberi satu
selir oleh Pakubuwono X,” tutur pria 78 tahun itu.
Gresik Kota Lama memang menyimpan banyak bangunan kuno yang masuk cagar budaya. Berdasar data yang dihimpun dari dinas pekerjaan umum (PU), terdapat 370 bangunan kuno. Namun, hanya 124 bangunan yang masih layak. Selebihnya, banyak bangunan yang rusak karena usia. Pihaknya berharap Pemkab Gresik berperan aktif melindungi bangunan-bangunan kuno.
’’Tentu kami sangat prihatin. Ini adalah aset Gresik yang harus dirawat pemerintah,” kata alumnus Pondok Modern Gontor itu.
Sebab, hanya gedung-gedung itulah yang berfungsi sebagai jendela waktu dalam menengok masa lalu kota santri tersebut
sumber : http://www.jawapos.com/baca/artikel/6529/Merawat-Rumah-Kuno-seperti-Momong-Cucu |Umar Wirahadi