Bangunan ini merupakan ciri Sidayu sebagai kota kolonial. Didesain dengan memadukan gaya arsitektur lokal dengan gaya Eropa. Bangunan ini dapat menjadi bukti pengaruh Eropa terhadap pola pemukiman di Sidayu. Menurut keterangan dari seorang narasumber (Abdur Roghib), awalnya adalah bagian dari kediaman bupati Sidayu.
Keterangan lisan lain menyebutkan bahwa bangunan yang terletak di Jl. Kanjeng Pangeran No. 2 Mriyunan ini merupakan peninggalan dari Kanjeng Sepuh dan digunakan sebagai ruangan kerjanya. Sementara sisa-sisa bangunan lama yang diyakini sebagai bekas kadipaten Sidayu di SMPN 3 Sidayu adalah tempat kediamannya.
Bangunan ini dapat menjadi penanda pasang surutnya perkembangan Kota Sidayu.
Dari wilayah yang berstatus sebagai kabupaten yang otonom hingga statusnya yang sekarang menjadi kota kecamatan di Gresik. Sidayu pada awal abad 16 merupakan wilayah pesisi yang otonom dan setara dengan wilayah pesisir lainnya. Menurut Tome Pires yang berkunjung kesana pada awal abad 16 penguasa Sidayu adalah seorang yang bernama Pate Amiza. Beliau adalah keponakan dari Pate Moroh dari Rembang dan masih saudara sepupu dengan Pate Unus dn Pate Rodim. Tome Pires ketika itu juga menyebutkan tentang nama Pate Bagus, yang dikatakannya sebagai saudara dari ayah Pate Amiza, dan dialah yang sebenarnya memerintah negeri itu.
Posisi Sidayu kemudian mulai merosot pada abad 17.
Kabupaten itu menjadi bagian dari daerah kekuasaan Surabaya. Sehingga ketika Surabaya terlibat pertempuran-pertempuran melawan Mataram, Sidayu turut membantunya. Situasi itu bagi Sidayu akhirnya membawanya menjadi daerah taklukan Mataram sejak Surabaya dikalahkan pada 1625. Sidayu kemudian jatuh dalam kekuasaan VOC ketika Mataram kehilangan kontrolnya atas daerah pesisir timur Pulau Jawa sejak 1743, pasca pemberontakan Cakraningrat IV.
Pada tahun 1746 Kabupaten Sidayu termasuk dalam afdeeling Gresik bersama dengan Kabupaten Gresik dan Kabupaten Lamongan (Sutjipto, 1983).
Afdeeling adalah daerah administratif setingkat kabupaten yang dijabat oleh pejabat Eropa. Afdeeling bisa terdiri dari satu kabupaten atau lebih. Jika bupati adalah pemimpin dari kabupaten maka yang memimpin afdeeling adalah asisten residen yang bertanggungjawab langsung kepada residen.
Selama dalam kekuasaan VOC ini Sidayu diwajibkan untuk memenuhi beberapa kewajiban yang dibebankan kepadanya. Salah satunya adalah kewajiban untuk menyetor beras. Pada tahun 1747 Bupati Sidayu dan Lamongan menyetorkan 127 koyang beras dan masih berutang 458 koyang dari setoran tahun sebelumnya.
Memasuki awal abad 20 keberadaan Kabupaten Sidayu tampaknya mulai mengalamai kemunduran. Mungkin ini berkaitan dengan kebijakan pelabuhan pemerintah Hindia Belanda. Sebagai catatan, mulai 1800 Hindia Belanda yang sebelumnya dikuasai VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak itu beberapa perubahan dilakukan untuk efisiensi dalam menambah keuntungan. Dalam masalah pelabuhan, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menutup pelayaran internasional beberapa pelabuhan yang secara ekonomis tidak menguntungkan.
Pelabuhan Gresik sendiri telah ditutup bagi pelayaran internasional sejak 1825. Sidayu kemungkinan juga mengalami nasib yang sama.
Pada awal abad 20 itu pula riwayat Kabupaten Sidayu berakhir dan wilayahnya dilebur menjadi satu dengan Kabupaten Gresik dengan status sebagai kawedanan. Pada tahun 1934 status Gresik sebagai kabupaten dihapus dan digabungkan ke dalam Kabupaten Surabaya hingga tahun 1974.
Sumber : SitusbudayaID