Keberadaan seni hias Damar kurung asal Gresik dan lukisan kaca di Jawa Timur merupakan sebagian peninggalan dari seni budaya Tradisional Jawa Timur, yang keberadaannya sudah hampir punah karena dianggap tidak praktis dan kurang ekonomis. Disamping kurangnya pemahaman masyarakat terhadap nilai seni suatu karya, permintaan yang rendah akan produk-produk tradisional berdampak pada terhentinya praktek kegiatan membuat barang-barang tradisional.
Seni hias Damar Kurung merupakan hiasan atau motif unik yang terdapat pada sarung lampion dengan media kertas pada lampion berbentuk segi empat berkerangka bambu atau kayu. Umumnya lukisan menceritakan makna kehidupan sehari-hari masyarakat Gresik. Keberadaan seni hias Damar Kurung dari Gresik yang sudah dibuat oleh Mbah Masmundari merupakan sebagaian peninggalan dari seni budaya tradisional Jawa Timur, yang sekarang sudah sangat sulit dijumpai.
Berbeda dengan jenis kerajinan lain, khusus pada Damar Kurung, keberadaan pengrajin sekaligus pelukis ragam hiasnya yang unik ini yang menjadi legenda telah meninggal dunia dan belum ada penerusnya yang bisa menyandingi karya nama besar Mbah Masmundari. Damar kurung sebagai lampion hias sebelumnya hanya dikerjakan sebagai usaha turun temurun dari generasi ke generasi dalam satu keluarga, menurut buku Damar Kurung dari Masa ke Masa, Damar Kurung sudah ada sejak jaman Sunan Prapen (Kesultanan Giri III).
Secara tidak langsung Damar Kurung Gresik sudah ada sejak abad 16 (Masa Sunan Prapen) dan sekarang sudah di abad ke-21, sehingga usia Damar Kurung sudah berjalan lebih dari 5 abad, sedangkan Mbah Masmundari yang hidup di abad 20 – 21, yakni sudah menjalani 2 abad kehidupannya. Dapat disimpulkan bahwa tiga abad sebelumnya telah dilalui keluarganya. Mbah Masmundari merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan.
Masih dari sumber yang sama, dari penjelasan ibu Rohayah (Putri tunggal Mbah Masmundari) menyatakan bahwa yang mewarisi kemampuan menggambar yang bagus dari ayah mereka adalah kakak sulungnya. Namun diusia 56 tahun kakak perempuannya wafat dan Mbah Masmundari yang kala itu masih berusia 40 tahun sedangkan Ibu Rohaya berusia 6 tahun.
Mbah Masmundari mulai menggambar diusianya ke-40 tahun setelah menggamati dari hasil karya kakak iparnya (Suami dari kakak perempuan keduanya) yang dirasa kurang tepat dan kurang bagus. Sebenarnya kemampuan Mbah Masmundari diperoleh dari hasil mengamati sang ayah dan kakak perempuannya. Refrensi :
Koeshandari, Ika. 2009. Damar Kurung dari Masa ke masa. Surabaya : Dewan Kesenian Jawa timur