Berbeda dengan mayoritas daerah yang puncak keramaian ketika hari raya Idul Fitri terjadi pada tanggal 1 Syawal, di kota Gresik terdapat sebuah desa bernama Pekauman yang terletak di belakang Masjid Jamik Gresik atau sebelah barat Alun-alun kota Gresik yang baru ramai ketika malam 8 Syawal.
Dalam catatan sejarah tata kota Gresik, dulunya pekauman merupakan tempat tinggal yang umumnya merupakan kediaman alim ulama. Sehingga masyarakat sekitar menyebut Pekauman atau biasa disebut Kauman merupakan penjabaran dari kalimat perkampungan kaum beriman yang ditujukan pada banyaknya rumah para alim ulama di daerah tersebut.
Istilah serupa juga ada di masa kesultanan Giri yakni dusun Kemudinan, desa Sidomukti yang berasal dari kata Mudin yang berarti pemimpin umat Islam di daerah, Kemudinan sendiri dulunya merupakan pemukiman yang di diami para mudin serta ulama setempat. Ketika daerah lain sudah sepi dan warganya sebagain sudah kembali ke empat kerja, di Kauman justru sangat ramai. Mereka bersilaturrahmi antar tetangga, sanak saudara, maupun yang dari jauh untuk menyempatkan diri untuk unjung-unjung (saling mengunjungi).
Hal ini terjadi karena mayoritas warga desa Kauman serta daerah sekitar yang meliputi Bedilan dan Tlogobendung masih banyak warganya yang berpuasa sunnah di bulan Syawal yakni antara tanggal 2 – 7 Syawal. Jadi bukan hal yang mengherankan jika pada malam 8 Syawal sesudah Sholat Maghrib para tamu yang hendak bersilaturahmi di daerah Kauman dan sekitarnya mengalami puncak kepadatan yang terjadi pada malam itu.
Dari Abu Ayyub Radhiyallahu Anhu:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkan dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup.”
(HR. Muslim 1984; HR. Ahmad 5/417; HR. Abu Dawud 2433; At-Tirmidzi 1164)
Tradisi ini dipopulerkan oleh seorang ulama bernma Kyai Baka yang masih merupakan keturunan Syekh Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Beliau meminta agar santrinya mengikuti Sunnah Rasul dengan berpuasa Syawal selama enam hari. Tradisi ini berlangsung turun temurun dan berlaku bagi siapa saja yang tinggal di daerah tersebut, baik warga asli maupun pendatang. Tradisi ini diperkuat oleh santri Kyai Baka, seperti Kyai Zubair dan Kyai Salim Khatim Zamhari Hingga saat ini terdapat kediaman ulama berpengaruh seperti KH. Umar Thoha Hasan di Bedilan yang menjadi tempat rujukan bersilaturahmi ketika Riyoyo Kupat.